Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memutuskan untuk menunda penerapan putaran kedua tarif impor selama 90 hari terhadap 75 negara mitra dagang. Penundaan ini tidak mencakup China, yang justru dikenai lonjakan tarif secara signifikan.
Kebijakan tarif tersebut awalnya dijadwalkan mulai berlaku pada Rabu (9/4/2025). Namun, Trump mengumumkan penangguhan tersebut melalui akun resmi di platform Truth Social pada Kamis (10/4/2025), seraya menegaskan bahwa tarif tetap diberlakukan dalam skema minimum sebesar 10 persen. Negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam yang sebelumnya dikenai tarif tinggi, masing-masing sebesar 32 persen dan 34 persen, kini memperoleh keringanan tarif menjadi 10 persen selama periode penangguhan.
“Karena negara-negara ini tidak mengambil langkah balasan terhadap Amerika Serikat, saya memberikan penangguhan selama 90 hari serta menurunkan Tarif Timbal Balik menjadi 10 persen yang berlaku segera,” ungkap Trump.
Trump juga menyampaikan bahwa sejumlah negara telah menyatakan keinginan untuk berdialog dengan lembaga-lembaga terkait di AS, termasuk Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), Departemen Perdagangan, dan Departemen Keuangan. Topik yang menjadi perhatian dalam perundingan tersebut mencakup isu tarif, hambatan perdagangan, manipulasi mata uang, serta tarif non-moneter.
Sebaliknya, China menjadi satu-satunya negara yang tidak mendapatkan penangguhan, bahkan tarifnya dinaikkan drastis menjadi 125 persen. Sebelumnya, China dikenakan tarif kumulatif sebesar 104 persen dari tiga tahap, yakni 20 persen, 34 persen, dan tambahan 50 persen sebagai respons atas penolakan negosiasi.
Trump menilai sikap China dalam perdagangan global sebagai tidak menghormati prinsip pasar dunia. “Karena kurangnya respek yang ditunjukkan Tiongkok terhadap pasar global, saya memutuskan untuk menaikkan tarif impor terhadap Tiongkok menjadi 125 persen, efektif segera,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa langkah ini diambil sebagai bentuk tekanan terhadap Beijing agar segera menyadari praktik perdagangan yang dinilai merugikan, termasuk terhadap AS yang mencatatkan defisit perdagangan sebesar US$1 triliun.