Kebijakan TKDN Dilonggarkan, Industri Lokal Waswas Kalah Saing dengan Produk Impor

4 Min Read

Pemerintah Indonesia berencana melonggarkan persyaratan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebagai bentuk negosiasi menanggapi kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) sebesar 32%.

Namun, langkah ini dikhawatirkan justru berdampak buruk pada daya saing industri dalam negeri. TKDN sendiri merupakan ketentuan yang mewajibkan perusahaan asing maupun domestik untuk menggunakan komponen lokal dalam produksinya di Indonesia.

Potensi Ancaman bagi Industri Lokal

Yannes Martinus Pasaribu, akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menyatakan bahwa revisi aturan TKDN di sektor otomotif bisa menjadi peluang untuk menarik investasi asing dan meningkatkan daya saing global. Namun, ia juga mengingatkan risiko di balik kebijakan ini.

“Pelonggaran TKDN harus disertai langkah strategis agar Indonesia tidak terjebak pada ketergantungan impor, yang justru dapat mematikan industri komponen lokal dari tingkat tier 1 hingga tier 3, bahkan berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK),” ujarnya.

Tanpa perlindungan yang memadai, ratusan produsen komponen otomotif lokal tier 1 dan tier 2 terancam kehilangan pasar jika kalah bersaing dengan produk impor, baik dari segi harga maupun kualitas.

“Jika industri lokal tidak mampu bersaing, dampaknya bisa berupa penurunan produksi, PHK, hingga penutupan pabrik,” tambah Yannes.

Kekhawatiran Serangan Produk Impor Murah

Rachmat Basuki, Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), memperingatkan potensi membanjirnya komponen otomotif dari China ke pasar Indonesia sebagai dampak kebijakan perdagangan AS terhadap China.

“Produk aftermarket China yang lebih murah dapat menggerus daya saing produk lokal,” katanya.

Sementara itu, Dadang Asikin, Ketua Umum Gabungan Industri Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (Gamma), mendesak pemerintah agar berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pelonggaran TKDN. Meski mendorong investasi, kebijakan ini harus tetap melindungi industri dalam negeri.

Dampak pada Ekspor ke AS

Kebijakan tarif impor AS juga berpotensi memengaruhi ekspor produk permesinan Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor mesin dan peralatan mekanis (HS 84) ke AS pada 2024 mencapai US$1,01 miliar, sedangkan mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85) menyentuh US$4,18 miliar.

“Kenaikan tarif akan mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar AS, terutama untuk suku cadang dan komponen otomotif,” jelas Dadang.

Pemerintah Pastikan Perlindungan Industri Lokal

Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza menegaskan bahwa perlindungan industri dalam negeri tetap menjadi prioritas meski sedang membahas relaksasi TKDN. Saat ini, penyesuaian aturan TKDN masih dalam pembahasan di bawah arahan langsung Presiden Prabowo Subianto.

Faisol menyebut, pemerintah akan fokus pada penyesuaian TKDN untuk sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Sebelumnya, Presiden Prabowo meminta jajarannya untuk menyusun regulasi TKDN yang lebih fleksibel dan realistis.

“Kami sedang merumuskan kebijakan sesuai arahan Presiden terkait TKDN,” ujar Faisol.

Permintaan Pengecualian dari Industri Elektronik

Di sisi lain, Daniel Suhardiman, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel), meminta agar produk elektronik dikecualikan dari pelonggaran TKDN. Ia menekankan pentingnya TKDN sektoral untuk mendorong utilisasi industri elektronik dalam negeri dan menarik investasi.

“Jika TKDN dilonggarkan, utilisasi industri lokal yang telah memenuhi syarat bisa menurun,” ujarnya.

Ia juga mengkhawatirkan ketidakpastian regulasi yang dapat membuat investor ragu atau bahkan menarik diri dari Indonesia. Selain itu, produsen lokal yang telah memenuhi TKDN berpotensi kehilangan peluang bisnis ke pemerintah (B2G), baik melalui tender maupun e-Katalog.

Saat ini, Kementerian Perindustrian mewajibkan TKDN pada 19 kelompok barang, mulai dari alat pertanian, peralatan migas, konstruksi, hingga elektronika dan telekomunikasi, dengan persentase yang bervariasi.

Kebijakan pelonggaran TKDN menghadirkan dilema antara menarik investasi asing dan melindungi industri dalam negeri. Pemerintah perlu memastikan langkah-langkah taktis agar kebijakan ini tidak justru melemahkan sektor lokal dan memicu dampak negatif seperti PHK atau penurunan produksi. Perlindungan terhadap industri strategis, seperti elektronik dan otomotif, harus tetap menjadi prioritas dalam perumusan regulasi ini.

Share This Article