Tupperware telah resmi menghentikan seluruh aktivitas bisnisnya di Indonesia, mengakhiri perjalanan panjang selama lebih dari tiga dekade di Tanah Air. Keputusan ini diambil setelah perusahaan asal Amerika Serikat tersebut menghadapi berbagai tantangan finansial dalam beberapa tahun terakhir. Tupperware sendiri telah berdiri sejak 78 tahun silam dan kini memutuskan untuk menghentikan operasional di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Dalam unggahan Instagram resmi @tupperwareid yang dibagikan pada Minggu (13/4/2025), pihak manajemen menyampaikan bahwa 33 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Selama itu, Tupperware telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia — hadir di dapur, meja makan, hingga berbagai momen istimewa bersama keluarga.
Penghentian operasi ini merupakan keputusan global dari kantor pusat Tupperware. Perusahaan menyebutkan bahwa langkah ini merupakan bagian dari restrukturisasi besar-besaran yang telah dimulai sejak tahun lalu. Seluruh kegiatan bisnis Tupperware Indonesia telah resmi berakhir pada 31 Januari 2025.
“Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat Indonesia atas dukungan selama ini. Kenangan selama 33 tahun akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan kami,” tulis Tupperware dalam pernyataannya.
Langkah penutupan ini tidak lepas dari kondisi keuangan perusahaan induk yang memburuk. Pada September 2024, Tupperware Brands Corporation di AS resmi mengajukan permohonan kebangkrutan berdasarkan Chapter 11. Permohonan tersebut diajukan akibat kerugian yang terus menumpuk dan menurunnya permintaan pasar terhadap produk mereka.
Tupperware dan sejumlah anak usahanya mengajukan permohonan tersebut pada 16 September 2024. Dengan total utang mencapai USD818 juta (sekitar Rp214 triliun), perusahaan berencana mencari investor atau pembeli dalam waktu 30 hari. Namun, rencana ini mendapat tentangan dari tiga kreditur utama — Alden Global Capital, Stonehill Institutional Partners, dan Bank of America — yang sebelumnya membeli utang Tupperware senilai USD450 juta pada Juli 2024.
Para kreditur tersebut kemudian membekukan akses perusahaan ke rekening bank senilai USD7,4 juta dan mengajukan permohonan untuk mengubah proses kebangkrutan menjadi likuidasi berdasarkan Chapter 7, yang memungkinkan aset perusahaan langsung diambil alih tanpa proses kebangkrutan yang panjang.
Dokumen pengajuan kebangkrutan menunjukkan bahwa aset Tupperware berkisar antara USD500 juta hingga USD1 miliar, namun kewajiban yang harus ditanggung jauh lebih besar, yaitu di antara USD1 miliar hingga USD10 miliar.
Upaya penyelamatan sebenarnya pernah dilakukan. Pada 2023, Goldman Sachs sempat membantu merestrukturisasi utang dan menjalin kerja sama dengan bank investasi Moelis & Co untuk mencari opsi strategis. Sayangnya, usaha tersebut tidak cukup untuk memperbaiki krisis likuiditas yang terus membayangi perusahaan.
Tupperware, yang berdiri sejak 1946, menjadi contoh nyata perusahaan legendaris yang kesulitan beradaptasi dengan perubahan zaman. Mereka kalah bersaing dengan produsen baru yang menawarkan produk serupa dengan harga lebih terjangkau dan desain ramah lingkungan, yang lebih diminati konsumen muda masa kini.
Sejumlah ekonom menilai bahwa kelemahan utama Tupperware terletak pada model bisnis penjualan langsung yang kini dianggap ketinggalan zaman. Di era digital ini, konsumen muda lebih memilih berbelanja secara online melalui platform e-commerce yang lebih praktis dan cepat.