Rupiah Menguat Tipis di Tengah Kekacauan Perang Dagang AS-China, Ini Faktor Pendorongnya

3 Min Read

Nilai tukar rupiah ditutup menguat tipis terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Senin (14/4/2025), di tengah tekanan global akibat eskalasi perang dagang antara AS dan China.

Mengacu pada data Bloomberg, rupiah menguat 27,5 poin atau 0,16% ke level Rp16.795 per dolar AS, setelah bergerak fluktuatif dalam rentang Rp16.740–Rp16.800. Sementara itu, indeks dolar AS melemah tajam sebesar 1,12% ke posisi 99,74.

Selain rupiah, penguatan juga tercatat pada sejumlah mata uang utama Asia. Yen Jepang dan won Korea Selatan sama-sama naik 1,14%, dolar Taiwan melonjak 1,17%, dan dolar Singapura menguat 0,71%. Sementara itu, ringgit Malaysia naik 0,94%, baht Thailand 0,73%, peso Filipina 0,59%, dan rupee India 0,64%. Yuan China justru melemah tipis 0,04%.

Ketegangan Dagang AS-China Jadi Pemicu Utama

Menurut pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, pelemahan dolar AS dipicu oleh meningkatnya kecemasan atas potensi resesi di Negeri Paman Sam, menyusul saling balas tarif antara Washington dan Beijing.

Presiden AS Donald Trump pada Kamis lalu menetapkan tarif impor terhadap produk China hingga 145%—angka yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagai balasan, China juga menetapkan tarif hingga 84% untuk produk AS.

“Para pelaku pasar khawatir bahwa kebijakan tarif tinggi ini akan mengguncang rantai pasok global, terutama karena AS masih mengandalkan impor dari China untuk sejumlah bahan baku strategis,” ujar Ibrahim, Senin (14/4/2025).

Meskipun Trump menunda penerapan tarif resiprokal terhadap negara lain selama 90 hari, konflik dagang dengan China masih menjadi ancaman besar. Tekanan ini berpotensi memperburuk kondisi ekonomi AS, khususnya bagi kalangan importir dan eksportir.

Tekanan Inflasi & Harapan Penurunan Suku Bunga

Dolar AS juga tertekan oleh rilis data inflasi konsumen AS bulan Maret yang lebih rendah dari perkiraan. Hal ini memicu spekulasi bahwa Federal Reserve mungkin akan memangkas suku bunga lebih cepat, seiring dengan tekanan ekonomi akibat perang dagang.

“Ekspektasi pelonggaran moneter ini menjadi katalis bagi mata uang emerging market seperti rupiah,” jelas Ibrahim.

Respons Pemerintah Indonesia: Momentum Negosiasi

Dari dalam negeri, pemerintah Indonesia terus memantau perkembangan tarif resiprokal yang digagas pemerintahan Trump. Ibrahim menilai, penundaan pemberlakuan tarif terhadap negara lain menjadi peluang bagi Indonesia untuk melanjutkan negosiasi.

Namun demikian, kebijakan ini sekaligus menjadi tantangan serius bagi stabilitas perdagangan Indonesia dan kawasan ASEAN, yang selama ini menjunjung prinsip perdagangan bebas dan terbuka.

“Jika situasi ini berlanjut, tekanan terhadap neraca dagang dan nilai tukar bisa semakin membesar. Indonesia harus cermat memanfaatkan momentum diplomasi dan menyesuaikan strategi perdagangan,” pungkasnya.

Share This Article