Investor Masih Wait and See, Visi Ekonomi Prabowo Diuji Sentimen Global dan Domestik

3 Min Read

Visi ekonomi Presiden Prabowo Subianto mendapat sorotan tajam dari pelaku pasar global yang hingga kini masih bersikap wait and see terhadap arah kebijakan Indonesia. Menurut laporan Bloomberg, Senin (14/4/2025), sejumlah manajer aset internasional mengaku masih ragu menanamkan modal dalam jumlah besar meski melihat adanya potensi jangka panjang.

Sebanyak 12 perusahaan manajemen aset menyatakan bahwa kebijakan Prabowo, mulai dari realokasi APBN, wacana revisi mandat Bank Indonesia, hingga peluncuran Danantara yang langsung di bawah kendalinya, menjadi sumber ketidakpastian. Situasi diperparah oleh defisit anggaran yang mendekati batas 3% dari PDB, salah satunya karena program makan siang gratis yang kontroversial.

Data mencatat, sepanjang kuartal I/2025, arus modal asing keluar dari pasar Indonesia mencapai US$1,8 miliar—terbesar sejak krisis moneter 1998. IHSG tertekan, rupiah menyentuh titik terendah dalam dua dekade, dan imbal hasil obligasi naik tajam.

Carol Lye dari Brandywine Global menyebut pasar Indonesia kini sangat rentan terhadap guncangan. “Sedikit sentimen negatif saja dapat memicu aksi jual lanjutan, terutama jika terjadi pergantian pejabat kunci atau masalah tata kelola,” ujarnya.

Sementara itu, Rob Brewis dari Aubrey Capital menyatakan, eksposur mereka terhadap saham Indonesia sudah dilepas sejak Februari. “Bukan karena satu faktor besar, tapi akumulasi banyak sentimen negatif kecil yang menggoyang kepercayaan investor,” jelasnya.

Meski begitu, sejumlah investor oportunis mulai melihat peluang. REYL Intesa Sanpaolo memburu saham perbankan dengan dividen menarik, sementara JPMorgan dan Allianz Global Investors mulai memborong obligasi dengan harapan pelonggaran moneter berlanjut.

“Kami percaya Presiden Prabowo akan mempertimbangkan opini publik, apalagi jika ia berambisi melanjutkan masa jabatan ke periode berikutnya,” kata Ze Yi Ang dari AllianzGI. Namun mereka tetap mencermati ketat kredibilitas fiskal pemerintah.

Salah satu tantangan besar adalah minimnya likuiditas di pasar saham. Dari lebih dari 900 emiten di IHSG, hanya 12 yang memiliki nilai transaksi harian di atas US$10 juta—terendah di Asia Tenggara. Dengan bobot Indonesia hanya 1,2% di MSCI Emerging Markets, beberapa investor mulai mempertanyakan urgensi berinvestasi di Tanah Air.

Veronique Erp dari RBC Blue Bay menilai, jika kepercayaan pasar tidak segera dipulihkan, investor bisa memilih keluar sepenuhnya. “Namun dalam jangka panjang, Indonesia masih memiliki potensi besar,” katanya.

Kini pemerintah tengah merundingkan penghapusan tarif AS yang bisa membawa angin segar. Tapi lebih dari itu, pemulihan kepercayaan pasar akan menjadi kunci utama keberhasilan visi ekonomi Prabowo. Seperti ditegaskan Yasmin Chowdhury dari Federated Hermes, “Arah tata kelola akan menentukan masa depan Indonesia.”

Share This Article