Maskapai penerbangan nasional PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) menatap tahun 2025 dengan keyakinan untuk memperbaiki kinerja operasionalnya melalui penambahan jumlah pesawat. Direktur Utama GIAA, Wamildan Tsani Panjaitan, menyampaikan bahwa pihaknya telah menyiapkan sejumlah langkah strategis guna memperkuat kondisi keuangan perusahaan yang belum sepenuhnya pulih dari tekanan pada tahun sebelumnya.
Salah satu fokus utama GIAA adalah meningkatkan efisiensi operasional serta memperluas potensi pendapatan, termasuk melalui peningkatan jaringan penerbangan dan kualitas layanan. Untuk mendukung hal tersebut, Garuda berencana mengoperasikan hingga 100 pesawat hingga akhir 2025. Namun, tekanan terhadap nilai tukar rupiah menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan dalam pengadaan armada baru. “Kita harus waspada dengan fluktuasi rupiah,” ujar Wamildan dalam pernyataan yang dikutip pada Senin (7/4/2025).
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menembus Rp17.000 di pasar NDF, dipicu oleh kebijakan tarif impor dari Amerika Serikat terhadap beberapa negara. Data Bloomberg mencatat rupiah ditutup di angka Rp16.562 per dolar AS pada 27 Maret 2025, menjelang libur panjang Lebaran. Sepanjang kuartal I/2025, rupiah telah terdepresiasi sebesar 2,25%.
Dalam menghadapi kondisi tersebut, Garuda Indonesia membuka berbagai opsi terkait akuisisi pesawat baru, termasuk mempertimbangkan metode penyewaan seperti wet lease dan dry lease. Menurut Wamildan, biaya sewa satu unit pesawat saat ini rata-rata mencapai US$300.000 per bulan.
Target penambahan armada hingga 100 unit selaras dengan pertumbuhan industri penerbangan yang ditandai oleh meningkatnya jumlah penumpang. Garuda berencana mengoptimalkan armada secara bertahap dengan tetap memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG), kondisi pasar, serta faktor internal dan eksternal lainnya.
Sejak akhir 2024 hingga kuartal pertama 2025, Garuda telah menambah dua pesawat narrow body tipe Boeing 737-800NG (PK-GUF dan PK-GUG). Dua unit tambahan yang saat ini masih dalam proses perawatan—PK-GUH dan PK-GUI—dijadwalkan mulai beroperasi pada kuartal II/2025 untuk melayani rute domestik dan internasional.
Sepanjang 2024, Garuda Indonesia Group mencatatkan peningkatan jumlah penumpang sebesar 18,54% menjadi 23,67 juta penumpang dibandingkan 2023 yang hanya mencapai 19,97 juta. Rinciannya, Garuda Indonesia mainbrand mengangkut 11,39 juta penumpang, sementara Citilink menyumbang 12,28 juta. Kenaikan ini turut didukung oleh meningkatnya frekuensi penerbangan sebesar 12,21% menjadi 163.271 penerbangan.
Namun demikian, secara finansial, GIAA masih mencatatkan kerugian bersih sebesar US$72,7 juta (sekitar Rp1,22 triliun dengan asumsi kurs Rp17.795 per dolar AS), berbalik dari laba US$250,04 juta yang dibukukan pada akhir 2023. Padahal, pendapatan usaha GIAA tumbuh 16,34% menjadi US$3,41 miliar dari US$2,93 miliar tahun sebelumnya, didorong oleh keberhasilan restrukturisasi utang dan suntikan dana dari pemerintah (PMN). GIAA juga membukukan EBITDA positif sebesar US$983 juta. Meski begitu, posisi ekuitas masih negatif di angka US$1,35 miliar, mengindikasikan bahwa total utang perusahaan melebihi asetnya (US$7,97 miliar liabilitas dibanding US$6,61 miliar aset).
Manajemen GIAA dalam laporan keuangannya menyebutkan bahwa situasi ini mencerminkan adanya ketidakpastian signifikan terhadap kelangsungan usaha perusahaan.
Pergerakan Saham GIAA dan Tantangan Industri
Di pasar modal, saham GIAA melemah hingga 21,82% sejak awal tahun hingga 14 April 2025, berada di level Rp43 per lembar saham. Menurut Nafan Aji Gusta, analis dari Mirae Asset Sekuritas, sektor penerbangan masih menghadapi tantangan berat seperti harga avtur yang tinggi dan daya beli masyarakat yang belum maksimal. Selain itu, ketatnya persaingan di industri juga turut memberi tekanan, terlebih dengan munculnya pemain baru.
Salah satu pemain baru tersebut adalah PT Indonesia Airlines Group, anak usaha dari Calypte Holding Pte. Ltd. asal Singapura, yang resmi berdiri pada Maret 2025. Perusahaan ini berencana mengoperasikan 20 pesawat secara bertahap, terdiri atas 10 Airbus A321neo/A321LR dan 10 pesawat berbadan lebar seperti Airbus A350-900 dan Boeing 787-9. Selain itu, BBN Airlines Indonesia yang muncul pada akhir September 2024 juga ikut meramaikan sektor, meskipun saat ini lebih fokus pada bisnis penyewaan pesawat (ACMI).
Miftahul Khaer dari Kiwoom Sekuritas juga menilai GIAA masih menghadapi tekanan berat dari sisi keuangan serta persaingan pasar. Meski begitu, ia menilai ekspansi rute dan penambahan pesawat yang dilakukan tahun ini dapat menjadi katalis positif, terutama dengan mulai pulihnya sektor pariwisata dan meningkatnya permintaan perjalanan domestik maupun internasional.