Meskipun menjadi komoditas strategis, hilirisasi kelapa di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan sektor mineral. Alih-alih dikembangkan secara industrial, kelapa justru masih diekspor dalam bentuk mentah.
Sepanjang Januari–Februari 2025, ekspor kelapa bulat mencapai 71.077 ton dengan nilai US$30,8 juta. Angka ini terus meningkat dalam tiga tahun terakhir, menandakan ketergantungan RI terhadap ekspor bahan mentah masih tinggi.
Padahal, hilirisasi kelapa selaras dengan misi pemerintah Prabowo-Gibran untuk mewujudkan kemandirian pangan dan penguatan industri nasional.
“Kelapa kita luasannya 3,3 juta hektare, 92% milik rakyat. Dari air, sabut, hingga tempurung, semuanya bisa bernilai tinggi,” ujar Ardi Praptono, Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementan.
Pemerintah telah memperluas mandat Badan Pengelola Dana Perkebunan untuk mendukung pembiayaan hilirisasi kelapa. Selain itu, Bappenas merilis Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025–2045 sebagai landasan pengembangan industri terpadu.
Namun, pelaksanaannya belum optimal. Produk turunan seperti minyak kelapa, medium-chain triglyceride (MCT), tepung kelapa, hingga whipping cream belum dikembangkan secara maksimal, meski pasar globalnya bernilai miliaran dolar.
Sektor sabut kelapa juga belum digarap serius. Banyak pelaku UMKM cocofiber dan cocopeat kesulitan bersaing karena keterbatasan kapasitas dan teknologi. Tak sedikit bahkan terpaksa membakar limbah sabut karena tidak terserap pasar.
Air kelapa pun masih dibuang sia-sia. Dari potensi 3,68 juta ton per tahun, sebagian besar belum dimanfaatkan karena industri olahan non-pangan seperti bioleather dan masker organik belum berkembang di Indonesia.
Satu-satunya sektor yang relatif unggul adalah briket arang kelapa, terutama untuk pasar shisha di Timur Tengah. Indonesia bahkan menjadi produsen nomor satu dunia. Namun, potensi produk turunan lainnya seperti sirup nira, cuka kelapa, dan pengganti kecap asin masih terkendala teknologi dan perawatan kebun rakyat.