Setelah mencatatkan kinerja terbaik dalam hampir dua tahun, pasar saham kembali dilanda gejolak akibat kebijakan tarif terbaru dari mantan Presiden Donald Trump serta pernyataan hati-hati dari Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, mengenai prospek ekonomi ke depan.
Dalam pidatonya pada hari Rabu, Powell mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi stagflasi sebagai dampak dari kebijakan ekonomi Trump. Pernyataan ini langsung memicu aksi jual besar-besaran, dengan indeks S&P 500 (^GSPC) anjlok lebih dari 2%.
Kondisi tersebut mengakhiri stabilitas sementara yang sempat tercipta usai gejolak besar pada awal bulan ini. Ketiga indeks saham utama pun menutup pekan perdagangan yang dipersingkat karena libur dengan penurunan secara keseluruhan.
Menambah tekanan, Trump kembali melontarkan kritik tajam terhadap Powell pada hari Kamis, baik melalui media sosial maupun pernyataan di Gedung Putih.
“Kalau saya ingin dia pergi, dia akan segera keluar. Percaya deh,” ujar Trump. “Saya rasa dia tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Selalu terlambat mengambil tindakan.”
Komentar tersebut muncul setelah Powell menepis anggapan bahwa The Fed akan segera memangkas suku bunga untuk menopang pasar—sebuah langkah yang sering dijuluki sebagai “Fed put”.
Ketidakpastian Mendominasi Sentimen Investor
Rasa cemas terus membayangi pasar, tercermin dari lonjakan Indeks Volatilitas CBOE (^VIX) yang kembali ke level tertinggi sejak krisis keuangan 2008 dan pandemi COVID-19 tahun 2020. Hal ini menunjukkan masih besarnya potensi gejolak dalam waktu dekat.
“Investor berada dalam kondisi cemas,” kata Stuart Kaiser, kepala strategi perdagangan ekuitas AS di Citi. Dalam wawancaranya dengan Yahoo Finance, ia menyatakan, “Pesan dari pasar minggu ini jelas: kita belum aman… dan kabar buruk belum sepenuhnya tercermin di harga saham.”
Menurutnya, meski pernyataan Powell seputar dampak tarif terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi tergolong biasa, reaksi pasar tetap berlebihan. Ini mengindikasikan betapa rentannya sentimen pasar saat ini.
Sebelum pernyataan Powell menjadi sorotan, pengumuman pembatasan ekspor chip ke China sudah lebih dulu menekan sektor teknologi, termasuk Nvidia (NVDA), perusahaan yang menjadi barometer perkembangan AI. Dalam laporan kepada regulator, Nvidia mengungkapkan potensi kerugian sebesar $5,5 miliar pada kuartal pertama akibat kebijakan tersebut, yang membuat sahamnya anjlok hingga 7%, disusul penurunan lanjutan sebesar 3% pada hari berikutnya. Total kapitalisasi pasarnya menyusut lebih dari $250 miliar.
Harapan Pada Kejelasan dan Kesepakatan Dagang
Menurut Blake Gwinn dari RBC Capital Markets, dampak tarif tidak hanya menyasar secara langsung, tapi juga menciptakan ketidakpastian jangka panjang. “Walau tidak langsung terdampak, pelaku usaha akan ragu untuk berinvestasi, memperluas bisnis, atau merekrut tenaga kerja,” ujarnya.
Di tengah ketidakpastian tersebut, kabar baik mengenai kesepakatan dagang dipandang sebagai faktor pemicu rebound pasar dalam waktu dekat.
“Kita butuh kabar positif terkait tarif, terutama dengan mitra dagang utama,” kata Kaiser. “Jika itu terjadi, pasar bisa mulai membentuk ekspektasi positif untuk tiga bulan ke depan.”
Namun bahkan kabar yang pasti—baik positif maupun negatif—bisa menjadi elemen yang menenangkan bagi investor.
“Pasar bisa mengelola ketidakpastian jika ada kejelasan,” ungkap Fabio Natalucci, CEO Andersen Institute dan mantan direktur IMF. “Kalau sudah jelas tarif akan naik, pelaku usaha bisa menyesuaikan rantai pasok, menyusun strategi investasi, dan merencanakan ke depan.”
“Tapi saat ini, yang jadi penghambat utama adalah ketidakjelasan. Kita belum tahu akan ke mana arah kebijakan ini berakhir,” pungkasnya.