Pasar Keuangan RI Makin Tertekan, Kapital Asing Kabur dan Risiko Tarif Trump Meningkat

5 Min Read

Kondisi pasar keuangan Indonesia sepanjang 2025 menunjukkan tren memburuk jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Tekanan eksternal, terutama dari potensi penerapan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump, semakin memperdalam tekanan terhadap stabilitas ekonomi nasional.

Sejumlah indikator utama mencerminkan kondisi yang mengkhawatirkan. Salah satunya adalah derasnya arus keluar modal asing. Bank Indonesia (BI) mencatat, sepanjang 1 Januari hingga 16 April 2025, total dana asing yang hengkang dari pasar keuangan Indonesia mencapai Rp37,17 triliun. Rinciannya adalah jual neto Rp36,86 triliun di pasar saham, jual neto Rp7,94 triliun di instrumen SRBI, dan beli neto Rp9,63 triliun di pasar SBN.

Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun lalu (1 Januari–18 April 2024), total dana asing yang keluar hanya sebesar Rp10,64 triliun, dengan catatan beli neto Rp15,12 triliun di pasar saham, beli neto Rp12,9 triliun di SRBI, dan jual neto Rp38,66 triliun di SBN. Artinya, terdapat lonjakan aliran modal keluar sebesar Rp26,53 triliun pada tahun ini dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

CDS dan Rupiah Ikut Melemah

Kondisi premi Credit Default Swap (CDS) 5 tahun Indonesia juga mencerminkan peningkatan risiko. BI mencatat premi CDS sebesar 106,39 basis poin (bps) per 16 April 2025, naik signifikan dari 76,4 bps pada periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini menunjukkan meningkatnya persepsi risiko kredit Indonesia di mata investor global, yang berdampak pada biaya pinjaman pemerintah dan korporasi.

Nilai tukar rupiah juga tidak luput dari tekanan. Pada pembukaan 17 April 2025, kurs rupiah tercatat di level Rp16.810 per dolar AS, melemah 580 poin dibandingkan posisi Rp16.230 pada pembukaan pasar 19 April 2024.

Yield SBN Nyaris Stagnan, Tapi Risiko Tetap Tinggi

Sementara itu, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun berada di level 6,93% per 17 April 2025. Angka ini nyaris tidak berubah dari posisi 6,91% pada 19 April 2024. Namun, jika dibandingkan dengan yield US Treasury (UST) Note 10 tahun yang sebesar 4,277% per 16 April 2025, terdapat spread sebesar 225 bps. Spread ini sedikit menyempit dari tahun lalu yang sebesar 227 bps, tetapi tidak cukup untuk menunjukkan adanya perbaikan signifikan.

Risiko Tarif Trump: Inflasi dan Daya Tarik Dolar

Salah satu sumber tekanan utama adalah kebijakan dagang Presiden Trump yang mengancam akan mengenakan tarif resiprokal hingga 32% terhadap negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Kebijakan ini berpotensi memicu lonjakan harga barang impor, mempercepat inflasi, dan menghambat ruang pelonggaran moneter oleh Federal Reserve (The Fed).

“Jika risiko inflasi meningkat, pemangkasan suku bunga mungkin tidak akan sebesar yang diharapkan,” ujar Andry Asmoro, Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., Sabtu (19/4/2025).

Jika The Fed tidak menurunkan suku bunga, investor cenderung beralih ke aset dolar AS yang lebih aman, memperburuk aliran modal keluar dari negara berkembang seperti Indonesia dan menekan nilai tukar rupiah lebih dalam.

Respons BI dan Strategi Penyeimbang

Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI), Josua Pardede, menilai ruang gerak BI untuk menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sangat terbatas. Bila BI memangkas suku bunga sementara The Fed tidak, maka spread suku bunga antara Indonesia dan AS akan menyempit, memicu potensi arus keluar modal asing.

“Risiko arus keluar dana meningkat dan rupiah bisa semakin tertekan,” ungkap Josua.

Sebagai solusi, BI didorong untuk melakukan intervensi strategis, seperti menjual cadangan devisa di pasar valas dan mengoptimalkan penggunaan instrumen SRBI untuk menarik minat investor terhadap aset berdenominasi rupiah. Selain itu, koordinasi dengan pemerintah untuk menjaga daya tarik SBN juga dinilai penting. Otoritas fiskal bisa memberikan insentif pajak atau menjaga stabilitas yield obligasi agar tetap kompetitif.

Josua juga menekankan pentingnya penguatan cadangan devisa dengan mendorong ekspor, menarik investasi langsung asing (FDI), serta memperluas penggunaan rupiah dalam perdagangan internasional melalui skema local currency settlement.

DHE dan Stabilitas Ekonomi

Kebijakan terkait Devisa Hasil Ekspor (DHE) juga dinilai krusial. Aturan terbaru yang mewajibkan eksportir SDA untuk menyimpan 100% DHE di dalam negeri selama 12 bulan diyakini mampu memperkuat posisi cadangan devisa Indonesia dan menahan tekanan arus keluar.

Di sisi lain, BI tetap diminta menjaga suku bunga pada level yang menarik bagi investor global, namun tidak menahan laju pertumbuhan ekonomi domestik.

Share This Article