China mempercepat realisasi belanja negara untuk mengantisipasi anjloknya permintaan luar negeri, menyusul memanasnya perang dagang dengan Amerika Serikat (AS). Berdasarkan laporan Bloomberg pada Sabtu (19/4/2025), total belanja dari anggaran publik umum dan dana pemerintah—dua instrumen utama fiskal China—telah mencapai 9,29 triliun yuan (sekitar US$1,3 triliun atau Rp21.889,2 triliun, menggunakan kurs JISDOR per 17 April 2024) selama kuartal I/2025.
Angka ini mencerminkan kenaikan 5,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu dan menjadi yang tertinggi sejak 2022. Lebih dari itu, realisasi ini telah menyerap hampir 22% dari total anggaran tahunan China 2025, jauh lebih cepat dibandingkan pencapaian 21,6% pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Langkah agresif ini diambil Beijing untuk menopang ekonomi domestik di tengah tekanan tarif AS yang diperkirakan akan mengganggu ekspor China. Tambahan tantangan lainnya datang dari sektor properti yang terus melemah, serta kondisi deflasi yang berlarut-larut dan menggerus optimisme konsumen serta dunia usaha.
Para ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi China akan mulai melambat pada kuartal II/2025, seiring mulai berlakunya tarif dari pemerintahan Trump. Bahkan, sejumlah bank besar telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu menjadi hanya 4%, jauh di bawah target resmi pemerintah yang sebesar 5%.
“Kebijakan fiskal akan menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi China tahun ini, meskipun belum cukup kuat untuk sepenuhnya menutupi dampak guncangan eksternal,” ujar Lisheng Wang, ekonom dari Goldman Sachs Group Inc.
Wang juga memperkirakan Kongres Rakyat Nasional akan menyetujui tambahan kuota penerbitan obligasi di luar anggaran pada akhir tahun ini. Di saat yang sama, bank sentral China kemungkinan akan memangkas suku bunga acuan dan mulai membeli obligasi guna mendukung langkah agresif pemerintah dalam menerbitkan utang dan meningkatkan belanja.
Opsi Stimulus Tambahan dan Tantangan Fiskal
Sejumlah analis juga memperkirakan percepatan pengembalian potongan pajak akan digunakan sebagai alat untuk membantu eksportir yang tertekan akibat tarif AS. Berdasarkan perhitungan Bloomberg dari data resmi, pembayaran potongan pajak ekspor pada bulan lalu mencapai 11%, hanya sedikit meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun demikian, sektor properti masih menjadi batu sandungan besar. Penurunan penjualan tanah sebesar 16,5% secara tahunan dan penyusutan pendapatan dari sektor real estat sebesar 0,1% menjadi beban berat bagi kas pemerintah. Di sisi penerimaan negara, pajak dalam dua bulan pertama 2025 turun secara tahunan, sementara pendapatan non-pajak justru melonjak hampir 50%.
Untuk menanggulangi tekanan fiskal, pemerintah daerah mulai gencar menerbitkan obligasi guna menukar utang tersembunyi mereka ke dalam laporan resmi, dalam rangka mengurangi beban fiskal dan menghindari denda berlebihan terhadap pelaku usaha—salah satu sumber utama pendapatan non-pajak mereka.
Akibatnya, defisit anggaran China membengkak. Selisih antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah meningkat tajam, dengan defisit melonjak 41% secara tahunan menjadi 2,3 triliun yuan.
Kendati begitu, pemerintah pusat telah menyiapkan sejumlah langkah pendukung yang diumumkan dalam sidang parlemen bulan lalu. Beijing juga menyatakan masih memiliki ruang fiskal yang cukup untuk menambah stimulus ekonomi apabila diperlukan.