Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami tekanan seiring meningkatnya ketegangan perdagangan global yang dipicu oleh kebijakan tarif impor dari pemerintahan Presiden Donald Trump. Menurut data Bloomberg pada Jumat (11/4/2025), indeks dolar AS—yang mengukur pergerakannya terhadap sejumlah mata uang utama—tercatat turun 0,78% ke level 100,09 pada pukul 11.29 WIB.
Pelemahan ini mencerminkan keluarnya dana besar-besaran dari pasar AS akibat ketegangan perdagangan antara dua raksasa ekonomi dunia. Sebagai alternatif, investor beralih ke aset safe haven seperti yen Jepang, franc Swiss, dan emas. Christopher Wong, analis valas dari Oversea-Chinese Banking Corp, menyatakan bahwa status dolar AS sebagai mata uang cadangan global mulai dipertanyakan, terutama karena melambatnya pertumbuhan ekonomi AS dan membengkaknya utang nasional.
“Kepercayaan terhadap dolar mulai goyah,” ujarnya, seperti dikutip Bloomberg. Gejolak ini menutup pekan yang penuh ketidakpastian di pasar keuangan, didorong oleh kebijakan perdagangan AS yang dinilai tidak konsisten.
Dolar bahkan mengalami penurunan terbesar dalam lebih dari dua tahun pada Kamis (10/4/2025), seiring spekulasi bahwa The Fed akan memotong suku bunga untuk mengurangi dampak negatif dari kenaikan tarif. Imbasnya, berbagai instrumen keuangan AS ikut tertekan—indeks S&P 500 anjlok 3,5%, sementara obligasi jangka panjang juga mengalami penurunan. Di sisi lain, kontrak swap suku bunga mengindikasikan potensi penurunan suku bunga The Fed hingga 90 basis poin pada tahun ini.
Sementara itu, aset safe haven justru mencatat kenaikan signifikan. Yen Jepang menguat lebih dari 1% ke level 142,89 per dolar—posisi tertinggi sejak September 2024. Franc Swiss juga menguat ke 0,8141 per dolar, level terkuat sejak 2015. Harga emas terus memecahkan rekor baru, sedangkan euro menguat ke US$1,1383, level tertinggi sejak awal 2022.
Awalnya, banyak yang memperkirakan kepemimpinan Trump akan membawa pertumbuhan ekonomi tinggi, pajak rendah, dan dolar yang kuat. Namun, situasi kini berubah menjadi ketidakpastian dan risiko tinggi. Pasar kini menunggu respons China setelah AS menaikkan tarif impor terhadap produk China menjadi 145%, sementara masa tenggang 90 hari untuk negosiasi masih belum jelas hasilnya.
Rodrigo Catril, analis National Australia Bank, menyatakan bahwa selama tidak ada solusi nyata dari ketegangan ini, pelarian dari dolar AS akan terus berlanjut. “Selama ketegangan perdagangan masih tinggi, tren pelemahan dolar dan penjualan aset AS kemungkinan besar akan terus terjadi,” tegasnya.
Dengan kondisi saat ini, pasar keuangan global masih dihadapkan pada volatilitas tinggi, di mana dolar AS menjadi salah satu pihak yang paling terdampak.