Dolar AS Terancam Hilang Statusnya Sebagai Safe Haven: Ancaman atau Realitas?

5 Min Read

Reputasi dolar Amerika Serikat (AS) kini berada di ujung tanduk, dengan kepercayaan investor yang mulai terkikis. Setelah lebih dari setengah abad mendominasi sebagai safe haven, statusnya terancam hilang. Ekonom membandingkan fenomena ini dengan runtuhnya Pound Inggris pada masa lalu, yang mengguncang pasar global.

Menurut Associated Press (AP), ancaman terhadap ekonomi AS, terutama dari tarif perdagangan, membuat aksi jual dolar menjadi hal yang sangat mencolok. Mata uang biasanya mengalami fluktuasi seiring dengan inflasi, kebijakan bank sentral, dan faktor eksternal lainnya. Namun kali ini, penurunan dolar AS dianggap lebih dramatis dan mencerminkan kondisi yang lebih serius, terutama di tengah upaya Presiden Donald Trump mengubah sistem perdagangan global.

“Kepercayaan global terhadap dolar telah terbangun selama lebih dari setengah abad. Namun, hal tersebut bisa lenyap dalam sekejap mata,” ungkap Barry Eichengreen, Ekonom dari Universitas California, Berkeley, dalam wawancaranya dengan AP pada Jumat (18/4/2025).

Selama bertahun-tahun, dolar AS telah menguasai pasar dunia. Sebagian besar transaksi internasional menggunakan dolar, dan meskipun AS terus meningkatkan utang federal, permintaan terhadap dolar tetap tinggi. Hal ini memungkinkan pemerintah AS untuk meminjam dengan bunga rendah, yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan standar hidup yang lebih tinggi.

Namun, dominasi dolar AS kini terancam. Negara-negara seperti Venezuela, Iran, dan Rusia telah merasakan dampak dari sanksi yang memungkinkan AS menekan mereka dengan mengunci akses ke mata uang global tersebut. Tetapi, “hak istimewa” ini kini mulai pudar.

“Sifat safe haven dolar sedang terkikis,” ungkap Deutsche Bank dalam catatan yang mereka kirimkan kepada klien pada awal bulan ini.

Capital Economics bahkan menyatakan, “Sudah saatnya untuk mempertanyakan peran dominan dolar sebagai mata uang cadangan global.”

Keputusan Tarif Trump dan Pelemahan Dolar

Ekonomi tradisional berpendapat bahwa dolar seharusnya menguat akibat tarif yang dapat menurunkan permintaan terhadap produk impor. Namun, kenyataannya dolar AS justru melemah. Sejak Januari 2025, dolar telah jatuh 9% terhadap berbagai mata uang, mencapai level terendah dalam tiga tahun terakhir. Dolar AS juga melemah lebih dari 5% terhadap Euro dan Pound, serta 6% terhadap Yen sejak awal April.

Pelemahan ini membingungkan para ekonom dan merugikan konsumen AS. Pelancong AS kini menghadapi kenyataan bahwa mereka bisa membeli lebih sedikit barang saat dolar melemah. Harga barang-barang impor seperti anggur dari Prancis atau elektronik dari Korea Selatan bisa melonjak, memperburuk dampak tarif yang dikenakan oleh pemerintah.

Selain itu, konsumen AS juga akan merasakan suku bunga lebih tinggi pada pinjaman hipotek dan kendaraan. Bagi pemerintah AS, yang lebih memprihatinkan adalah potensi kenaikan suku bunga pada utang federal yang kini sudah mencapai 120% dari output ekonomi tahunan negara itu.

“Negara dengan utang terhadap PDB sebesar ini biasanya akan mengalami krisis besar. Namun, satu-satunya alasan kita bisa lolos adalah karena dunia masih membutuhkan dolar untuk berdagang,” ujar Benn Steil, Ekonom dari Council on Foreign Relations.

China dan Dedolarisasi

Benn Steil juga mengingatkan bahwa pada suatu titik, negara-negara mungkin akan mempertimbangkan alternatif selain dolar AS. Aksi dedolarisasi sebenarnya sudah mulai terlihat, terutama dari China yang semakin memperkenalkan Yuan sebagai mata uang global. Negara seperti Brasil, Rusia, dan Korea Selatan sudah mulai bertransaksi menggunakan Yuan, dan China juga telah memberikan pinjaman dalam Yuan kepada negara-negara seperti Argentina dan Pakistan.

Namun, tidak semua ekonom percaya bahwa dolar AS benar-benar melemah karena hilangnya kepercayaan. Steve Ricchiuto, Ekonom di Mizuho Financial, berpendapat bahwa pelemahan dolar ini lebih dipengaruhi oleh kekhawatiran inflasi yang lebih tinggi akibat tarif yang dikenakan Trump. Meskipun begitu, investor tetap menggenggam dolar karena tidak ada alternatif yang cukup besar untuk menggantikan posisinya, baik itu Yuan, Bitcoin, atau emas.

“AS akan kehilangan status mata uang cadangan global jika ada alternatif yang lebih kuat. Saat ini, tidak ada yang bisa menggantikan posisi dolar,” ujar Ricchiuto.

Krisis Kepercayaan dan Potensi Runtuhnya Dolar AS

Pendekatan tarif yang diterapkan oleh Trump semakin menuai kritik, terutama terkait dengan penerapannya yang tidak konsisten. Ketidakpastian ini membuat AS terlihat kurang stabil dan dapat diandalkan, yang berdampak pada persepsi internasional terhadap dolar.

Keputusan tarif yang diumumkan Trump pada 2 April 2025 mengingatkan ekonom pada Krisis Suez tahun 1956, yang menghancurkan Pound Inggris. Serangan militer yang buruk terhadap Mesir pada saat itu mengungkap kelemahan politik Inggris dan akhirnya meruntuhkan kepercayaan terhadap Pound.

Eichengreen memperingatkan bahwa “Hari Pembebasan” yang disampaikan Trump dalam pidatonya terkait tarif bisa menjadi titik balik bagi runtuhnya kepercayaan dunia terhadap dolar AS jika ia tidak berhati-hati.

“Ini adalah langkah pertama menuju jurang licin di mana kepercayaan internasional terhadap dolar AS bisa hilang,” tegas Eichengreen.

Share This Article