Pemerintah Indonesia memprioritaskan pendekatan diplomasi melalui negosiasi ketimbang mengambil langkah pembalasan menyusul kebijakan tarif impor terbaru yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa langkah bijak dan hati-hati dalam diplomasi adalah solusi terbaik untuk merespons kebijakan tersebut.
“Kami akan menghadapinya dengan tenang dan profesional. Kita punya kapasitas, dan kita akan berunding,” ujar Prabowo dalam kunjungan kerjanya ke Desa Randegan Wetan, Majalengka, Jawa Barat, Senin (7/4/2025).
Untuk memuluskan perundingan, Prabowo mengirim tiga menteri kunci ke AS, yaitu Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Luar Negeri Sugiono, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Delegasi ini dijadwalkan berangkat paling lambat 17 April 2025.
Negosiasi resmi diperkirakan baru dimulai setelah kebijakan tarif timbal balik Trump berlaku pada 9 April 2025. Kebijakan ini mencakup penetapan tarif minimum 10% untuk semua mitra dagang AS, termasuk negara-negara miskin dan berkembang.
Tarif Tinggi untuk Indonesia dan Strategi Negosiasi
Indonesia termasuk salah satu negara yang dikenakan tarif tinggi, yakni 32%, karena dinilai memberlakukan hambatan perdagangan terhadap produk AS. Hal ini memicu pertanyaan mengenai strategi pemerintah dalam menghadapi tekanan tersebut.
Jawabannya mungkin akan terungkap dalam sarasehan ekonomi yang digelar di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025). Acara ini dihadiri oleh berbagai pihak, mulai dari ekonom, investor, hingga media. Sikap Indonesia di tengah aksi pembalasan sejumlah negara terhadap tarif AS akan menjadi sorotan utama.
Yusuf Permana, Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, menyatakan bahwa kolaborasi antara pemerintah dan pelaku ekonomi menjadi kunci memperkuat ketahanan nasional di tengah tantangan global.
Pendekatan Negosiasi yang Dipertimbangkan
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyarankan agar pemerintah melakukan lobi yang terukur dan tidak terburu-buru dalam merespons kebijakan Trump. Menurutnya, negosiasi harus menjadi bagian dari strategi ekonomi jangka panjang.
“Jangan sampai kita terlalu fokus pada AS, lalu mengabaikan mitra dagang lain seperti India, China, atau Jepang, yang justru bisa menimbulkan masalah baru,” ujar Samirin.
Ia juga menilai bahwa pendekatan multilateral melalui ASEAN tidak akan efektif karena Trump cenderung menolak kerja sama regional. Sebaliknya, komunikasi langsung antara Prabowo dan Trump, diikuti pembahasan teknis di tingkat menteri, dinilai lebih realistis.
Opsi Kebijakan Non-Tarif dan Diversifikasi Pasar
Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa pemerintah akan menawarkan peningkatan impor produk AS, termasuk migas, untuk mengurangi surplus neraca dagang. Selain itu, revisi aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan kebijakan pajak impor juga dipertimbangkan.
Namun, Indonesia tidak akan mengikuti langkah Vietnam yang menurunkan tarif impor produk AS ke 0%. Sebab, tarif impor Indonesia untuk barang AS sudah relatif rendah, seperti 0% untuk kedelai dan gandum.
Airlangga menekankan bahwa AS hanya menyumbang 13% dari perdagangan global, sehingga Indonesia perlu memperkuat kerja sama dengan negara-negara lain.
Dampak pada Ekspor dan Upaya Mitigasi
Kebijakan tarif Trump berpotensi menggerus kinerja ekspor Indonesia, terutama minyak sawit (CPO), yang menghadapi persaingan ketat dengan Malaysia. Untuk mengantisipasinya, pemerintah berupaya memperluas pasar ke Uni Eropa, Afrika, dan mempercepat ratifikasi perjanjian dagang Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA).
Menteri Perdagangan Budi Santoso mengakui bahwa perundingan IEU-CEPA molor dari jadwal awal. Padahal, kesepakatan ini bisa membuka akses ekspor untuk tekstil, produk pertanian, dan alas kaki.
Kritik atas Ketidakadilan Perhitungan Tarif
Ekonom Indef, Tauhid Ahmad, menilai tarif 32% untuk Indonesia tidak adil karena rata-rata tarif Indonesia untuk produk AS hanya sekitar 8%. Ia menduga Trump memasukkan faktor subsidi dan kebijakan non-tarif dalam perhitungan, yang dinilai tidak transparan.
“Jika akumulasi semua faktor dianggap 64%, maka perlu klarifikasi lebih lanjut,” tegas Tauhid.
Kesimpulan
Indonesia memilih jalur diplomasi untuk menghadapi kebijakan tarif AS, dengan fokus pada negosiasi kebijakan non-tarif dan diversifikasi pasar. Langkah ini diharapkan dapat melindungi kepentingan ekonomi nasional tanpa memicu ketegangan perdagangan lebih lanjut.