IHSG Menguat 4 Hari Beruntun, Tapi Ancaman Volatilitas Masih Mengintai

4 Min Read

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melanjutkan tren penguatan selama empat hari berturut-turut. Namun, euforia ini belum menjamin pasar terbebas dari volatilitas. Meski sentimen global sempat mereda akibat keputusan Presiden AS Donald Trump menunda penerapan tarif impor, potensi gejolak masih tetap tinggi.

Pada perdagangan Selasa (15/4/2025), IHSG ditutup naik 1,15% atau setara 73,16 poin ke level 6.441,68. Kenaikan ini sekaligus mematahkan kekhawatiran sejumlah analis akan kemungkinan koreksi teknikal.

Namun, penguatan IHSG tak serta-merta membuat investor merasa aman. Pasalnya, keputusan Trump untuk menunda tarif impor bersifat sementara dan berisiko berubah seiring dinamika negosiasi dagang global.

Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan, mengatakan pasar merespons positif kabar tersebut. Ia memprediksi reli IHSG berpeluang berlanjut dalam jangka pendek, terutama bila didukung aliran dana asing dan sentimen global yang kondusif. “Tapi, bila muncul eskalasi geopolitik atau kegagalan negosiasi dagang, pasar bisa berbalik arah dengan cepat. Jangan sampai euforia berlebihan,” ujarnya.

Senada, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, menilai volatilitas IHSG masih akan berlanjut karena ketidakpastian global masih menjadi faktor dominan.

“Level krusial saat ini adalah 6.510. Selama belum ditembus, IHSG belum kembali ke jalur penguatan yang solid,” tegasnya.

Sejak awal tahun, IHSG sudah terkoreksi cukup dalam dengan penurunan sebesar 9,01% secara year-to-date (YtD). Tekanan tersebut dipicu sentimen negatif dari kebijakan tarif AS serta keraguan investor terhadap kebijakan fiskal dalam negeri.

Meski demikian, saham milik konglomerat tetap menjadi penopang. Saham PT Bayan Resources Tbk. (BYAN) milik Low Tuck Kwong melonjak 17,47%, sementara saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) milik duo Hartono naik 2,08%. Saham PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) dan PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA) yang dimiliki Prajogo Pangestu masing-masing naik 4,42% dan 5%.

Head of Research Phintraco Sekuritas, Valdy Kurniawan, menambahkan bahwa cadangan devisa Indonesia per Maret 2025 mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Selain itu, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) diperkirakan meningkat dari 126,4 menjadi 127,3. Ini memberikan katalis positif tambahan bagi IHSG.

“Selama belum masuk zona jenuh beli, peluang menutup gap di level 6.500 masih terbuka. Apalagi, candle bullish dan posisi IHSG masih berada di atas MA5,” ujar Valdy dalam riset hariannya.

AS sebelumnya mengumumkan pengecualian tarif untuk produk elektronik tertentu seperti ponsel dan laptop dari China. Langkah ini sempat meredakan kekhawatiran pasar. Namun, investor tetap waspada karena rencana tarif untuk produk semikonduktor dan farmasi masih berjalan.

Rupiah Masih Tertekan, Tak Terangkat oleh Penundaan Tarif Trump

Meskipun penguatan IHSG cukup solid, kinerja rupiah belum menunjukkan perbaikan. Bahkan saat indeks dolar AS melemah, rupiah masih mengalami tekanan.

Mengacu data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 0,24% atau 40 poin ke level Rp16.826,5 per dolar AS. Padahal, indeks dolar AS turun tipis 0,07% ke posisi 99,56.

Pengamat valas, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa pergerakan rupiah masih terpengaruh tarik ulur kebijakan tarif AS. Investor global tetap berhati-hati karena pemerintahan Trump terus melanjutkan rencana pemberlakuan tarif untuk produk semikonduktor dan farmasi.

Meski begitu, ada kabar positif dari dalam negeri. Bank Indonesia mencatat peningkatan cadangan devisa pada akhir Maret, tepat saat rupiah mendekati Rp17.000 per dolar AS. Peningkatan ini dinilai sebagai hasil dari intervensi stabilisasi BI menghadapi gejolak pasar keuangan global.

“Cadangan devisa yang kuat menjadi bantalan penting bagi BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar,” ujar Ibrahim.

Pekan lalu, rupiah sempat jatuh ke titik terendahnya melampaui rekor saat krisis finansial Asia 1998. Analis PT Bank Mandiri, termasuk Andry Asmoro, menyatakan bahwa tekanan eksternal berpotensi kembali muncul.

“Dengan ketidakpastian global yang tinggi, investor bisa beralih ke mode risk-off, mendorong arus keluar modal dan menekan cadangan devisa,” tulisnya dalam sebuah catatan analisis.

Share This Article