Sejumlah investor besar dunia mulai mengocok ulang portofolio mereka di saham-saham batu bara Indonesia. Langkah ini menyusul terbitnya empat executive order baru dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Selasa (8/4/2025) yang bertujuan menghidupkan kembali industri batu bara Negeri Paman Sam.
Berdasarkan data Bloomberg pada Senin (14/4), BlackRock Inc.—manajer aset terbesar dunia—menjual 11,59 juta saham PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) pada 10 April 2025, memangkas kepemilikannya menjadi 1,57 miliar saham. Di hari yang sama, BlackRock juga melepas 21.929 saham PT United Tractors Tbk. (UNTR) sehingga total kepemilikannya turun menjadi 48,90 juta saham. Saham PT Harum Energy Tbk. (HRUM) juga dipangkas sebanyak 247.747 lembar, menjadi 47,97 juta saham.
Sebaliknya, BlackRock justru menambah kepemilikan pada emiten batu bara milik negara PT Bukit Asam Tbk. (PTBA). Tercatat, perusahaan ini membeli tambahan 141.485 saham PTBA, sehingga total kepemilikannya naik menjadi 162,60 juta saham.
Kebijakan baru Trump ini dinilai sebagai bentuk agresif untuk menyelamatkan industri batu bara AS yang terus terpuruk. Mengutip Reuters, jumlah penambang batu bara di Amerika Serikat anjlok drastis dari 70.000 orang satu dekade lalu menjadi hanya sekitar 40.000 orang saat ini. Konsumsi batu bara oleh sektor pembangkit listrik pun menurun tajam dari 50% pada 2000 menjadi kurang dari 20% saat ini, tergantikan oleh gas alam dan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin.
Melalui Defense Production Act tahun 1950, Trump berupaya mencegah penutupan dini sejumlah pembangkit listrik batu bara. Salah satu kebijakan terbarunya bahkan memerintahkan Menteri Energi AS, Chris Wright, untuk mengevaluasi apakah batu bara yang digunakan dalam produksi baja bisa dikategorikan sebagai mineral kritis—status yang biasanya diberikan untuk bahan strategis pertahanan.
Trump juga menginstruksikan Jaksa Agung AS untuk meninjau ulang undang-undang iklim di tingkat negara bagian yang dianggap menghambat eksplorasi energi fosil. Selain itu, Departemen Energi AS membuka fasilitas pembiayaan senilai US$200 miliar untuk mendukung pengembangan teknologi batu bara baru, termasuk teknologi carbon capture yang hingga kini masih minim pemanfaatannya.
Trump pun mencabut moratorium izin tambang baru di lahan federal serta menginstruksikan percepatan proses sewa tambang kepada Menteri Dalam Negeri Doug Burgum.
Lonjakan Permintaan Energi Akibat Booming Data Center
Sementara itu, laporan terbaru dari International Energy Agency (IEA) mengungkap bahwa perkembangan pesat data center untuk mendukung penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) akan memicu lonjakan besar pada permintaan listrik dari pembangkit berbasis batu bara dan gas alam. Permintaan tersebut diprediksi bisa melonjak dua kali lipat hingga tahun 2030.
Meski kapasitas energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin terus bertumbuh, terutama di Eropa, IEA menilai kapasitas tersebut belum mampu mengimbangi kebutuhan listrik masif dari pusat data. “Pembangkit baseload seperti gas alam lebih cocok untuk memenuhi pola konsumsi listrik data center,” tulis IEA.
Beberapa pusat data bahkan diproyeksikan akan mengkonsumsi daya setara lima juta rumah tangga. Ini memunculkan kekhawatiran atas meningkatnya emisi gas rumah kaca global. Meski demikian, IEA menyebut bahwa lonjakan emisi akibat konsumsi listrik AI kemungkinan masih relatif kecil dibandingkan total emisi sektor energi secara keseluruhan dan bisa diimbangi oleh pengurangan emisi yang dimungkinkan oleh teknologi AI.
IEA juga mencatat bahwa AI bisa mempercepat inovasi teknologi energi seperti baterai dan panel surya (solar PV). Saat ini, gas alam menyumbang lebih dari 40% sumber listrik untuk data center di Amerika Serikat. Hingga 2030, gas alam diperkirakan menambah lebih dari 130 TWh suplai listrik per tahun.
Dengan latar belakang inilah, serangkaian kebijakan Trump dinilai sebagai upaya menyokong industri energi fosil sembari mendukung permintaan energi besar dari sektor data center. Di sisi lain, batu bara masih mendominasi bauran energi untuk data center secara global. Sebagai contoh, China menjadi pasar data center terbesar kedua di dunia dan masih mengandalkan batu bara sebagai sumber utama listriknya.
Namun, IEA juga menggarisbawahi masih adanya ketidakpastian besar terhadap proyeksi permintaan listrik data center hingga 2035. Rentang kebutuhan listrik diperkirakan berada antara 700 hingga 1.700 terawatt-jam—mencerminkan potensi variasi besar dalam penggunaan gas maupun nuklir.
Disclaimer: Artikel ini bersifat informatif dan bukan merupakan rekomendasi investasi.