Industri asuransi masih menghadapi tantangan dari kinerja pasar saham di awal tahun 2025, setelah mencatatkan penurunan hasil investasi. Gejolak pasar yang dipicu oleh ketidakpastian global, termasuk kebijakan tarif impor dari Presiden AS Donald Trump, turut membayangi sektor ini.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hasil investasi industri asuransi jiwa pada Januari 2025 mencapai Rp1,63 triliun, turun 56% secara tahunan (year-on-year/YoY) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (Rp3,70 triliun). Penurunan ini juga berdampak pada pendapatan industri, yang merosot 16,5% YoY menjadi Rp13,96 triliun dari Rp16,72 triliun.
Total nilai investasi asuransi jiwa juga mengalami kontraksi tipis sebesar 0,35% YoY menjadi Rp518,90 triliun pada Januari 2025, dibandingkan Rp520,72 triliun di tahun sebelumnya.
Komposisi Portofolio Investasi
Portofolio investasi industri asuransi jiwa didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp200,08 triliun, tumbuh 11,7% YoY. Sementara itu, investasi di pasar saham menempati posisi kedua dengan nilai Rp124,63 triliun, meskipun mengalami penurunan 11,5% YoY.
Tekanan terhadap pasar saham kembali terlihat ketika Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa menghentikan sementara perdagangan (trading halt) setelah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 9% pada pembukaan perdagangan Selasa (8/4/2025). Saham-saham blue chip seperti BBCA, BBRI, BMRI, BBNI, dan TLKM tercatat mengalami pelemahan signifikan.
Proyeksi dan Rekomendasi dari Pengamat
Irvan Rahardjo, pengamat asuransi, menyatakan bahwa tekanan di pasar modal berpotensi memperpanjang dampak negatif terhadap portofolio investasi asuransi jiwa.
“Hasil investasi asuransi jiwa telah terdampak signifikan oleh pelemahan IHSG dalam beberapa waktu terakhir,” ujar Irvan kepada Bisnis (7/5/2025).
Ia memperkirakan tekanan ini belum akan mereda, terutama dengan dibukanya kembali pasar setelah libur panjang dan masih lesunya bursa global akibat kebijakan tarif Trump.
Untuk mengantisipasi hal ini, Irvan menyarankan agar pelaku industri melakukan diversifikasi portofolio dengan mengurangi eksposur ke saham dan beralih ke instrumen yang lebih stabil, seperti SBN dalam dolar AS dan sukuk. Kedua instrumen ini dinilai mampu memberikan imbal hasil yang lebih baik sekaligus mengurangi risiko fluktuasi pasar.
Dampak Kebijakan Trump pada Sektor Asuransi
Irvan juga mengingatkan bahwa asuransi pengangkutan laut (marine cargo insurance) akan menjadi salah satu sektor yang paling terdampak dalam jangka pendek akibat penurunan ekspor ke AS.
“Kebanyakan ekspor Indonesia ke AS menggunakan skema Free on Board (FOB), yang tidak mencakup asuransi pengangkutan. Penurunan volume ekspor otomatis mengurangi permintaan atas asuransi ini,” jelasnya.
Dalam jangka menengah hingga panjang, asuransi properti dan kredit juga diperkirakan akan terkena imbas. Kenaikan nilai tukar rupiah dapat meningkatkan biaya impor, sementara penurunan pendapatan ekspor berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) bahkan kebangkrutan usaha.
Peringatan OJK dan Strategi Mitigasi Risiko
Iwan Pasila, Deputi Komisioner OJK Bidang Pengawasan Perasuransian, menekankan pentingnya kedisiplinan dalam menjalankan kebijakan investasi.
“Perusahaan asuransi harus menyesuaikan kebijakan investasi dengan karakteristik kewajibannya, memperhatikan kualitas aset dan likuiditas untuk memastikan pembayaran klaim tepat waktu,” ujar Iwan.
Ia menambahkan bahwa perusahaan yang disiplin dalam mengelola investasi tidak akan terlalu terpengaruh gejolak pasar, karena kebijakan investasi yang baik mencakup strategi pengukuran kinerja aset dan langkah antisipasi jika terjadi penurunan nilai.
Togar Pasaribu, Direktur Eksekutif AAJI, menegaskan perlunya penguatan strategi mitigasi risiko di tengah ketidakpastian pasar.
“Volatilitas pasar saham menjadi perhatian serius bagi industri asuransi. Kami mendorong perusahaan untuk memperkuat diversifikasi portofolio dan manajemen risiko guna menjaga stabilitas hasil investasi,” kata Togar.
Dia menambahkan bahwa strategi investasi asuransi bersifat jangka panjang, sehingga fluktuasi jangka pendek tidak seharusnya mengganggu kinerja secara keseluruhan.