Beberapa perusahaan terbuka mengalami penurunan kinerja keuangan selama tahun 2024 akibat dampak tekanan dari gerakan boikot publik.
PT MAP Boga Adiperkasa Tbk (MAPB), yang mengelola gerai Starbucks di Indonesia, serta PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), termasuk di antara emiten yang terdampak. Kedua perusahaan ini melaporkan penurunan laba secara signifikan, bahkan mengalami kerugian.
Data dari Bisnis.com mencatat tiga emiten yang mendapat sorotan akibat dugaan keterkaitan atau dukungan terhadap Israel, yaitu MAPB, PT Sarimelati Kencana Tbk (PZZA) selaku pemegang lisensi utama Pizza Hut, dan UNVR.
Sepanjang 2024, MAPB mengalami penurunan penjualan dari Rp3,99 triliun pada 2023 menjadi Rp3,23 triliun. Beban penjualan mencapai Rp2,05 triliun, dan perusahaan akhirnya mencatat rugi sebesar Rp146,15 miliar, berbanding terbalik dengan laba Rp104,65 miliar yang diraih tahun sebelumnya.
Kinerja PZZA juga belum pulih sepenuhnya. Meskipun menunjukkan perbaikan, perusahaan masih mencatat kerugian sebesar Rp72,83 miliar pada 2024, turun dari kerugian Rp96,22 miliar di tahun 2023.
Pendapatan juga mengalami penurunan dari Rp3,54 triliun menjadi Rp2,80 triliun. Namun, efisiensi biaya produksi berhasil dilakukan dengan menurunkan beban pokok penjualan menjadi Rp865,61 miliar, yang menghasilkan laba kotor sebesar Rp1,93 triliun.
Sebagai bagian dari upaya efisiensi, PZZA mengurangi jumlah gerai dari 615 menjadi 591 unit sepanjang tahun. Hal ini berdampak langsung terhadap pengurangan tenaga kerja, dari 5.022 karyawan tetap menjadi 4.467 orang per akhir tahun 2024.
Sementara itu, Unilever Indonesia mengalami penurunan pendapatan bersih tahunan sebesar 8,99%, dari Rp38,61 triliun pada 2023 menjadi Rp35,14 triliun. Segmen perawatan rumah tangga dan pribadi menyumbang penurunan paling signifikan dengan angka 10,83%, turun menjadi Rp22,42 triliun.
Segmen makanan dan minuman juga menyusut 5,56%, menghasilkan pendapatan Rp12,71 triliun. Beban pokok penjualan turun menjadi Rp18,41 triliun, menghasilkan laba kotor Rp16,71 triliun—turun 12,89% dibanding tahun sebelumnya.
Laba operasional Unilever juga terkoreksi tajam, turun 29,69% menjadi Rp4,41 triliun dari Rp6,27 triliun. Laba bersih perusahaan menurun 29,83% menjadi Rp3,36 triliun, dan EBITDA menyusut 26,83% menjadi Rp5,29 triliun.
Benjie Yap, Direktur Utama Unilever Indonesia, mengungkapkan bahwa penurunan laba disebabkan oleh melemahnya pendapatan serta peningkatan biaya investasi yang digunakan untuk transformasi bisnis. Meski begitu, ia menegaskan bahwa perusahaan berhasil memperbaiki pangsa pasar sejak posisi terendahnya pada Desember 2023.
“Kendati hasil tahun ini belum menyamai pencapaian tahun lalu, kami tetap optimis terhadap pertumbuhan ke depan. Perbaikan dalam manajemen stok dan efisiensi operasional menjadi fokus utama kami sepanjang 2025,” ujarnya saat menyampaikan hasil kinerja tahunan pada Kamis (13/2/2025).
Sementara itu, prospek jangka pendek untuk perusahaan-perusahaan yang terdampak isu boikot Israel masih terlihat suram. Menurut analis riset ekuitas dari Kiwoom Sekuritas Indonesia, Abdul Azis Setyo Wibowo, sentimen negatif dari boikot masih membayangi, terutama bagi emiten di sektor restoran.
“Walau terjadi sedikit peningkatan jumlah pengunjung, jumlahnya belum kembali seperti sebelum boikot,” ujarnya kepada Bisnis pada Senin (3/2/2025).