Kebijakan tarif timbal balik (reciprocal tariff) yang digaungkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dinilai berpotensi mengganggu pembangunan infrastruktur digital Indonesia, khususnya dalam hal pengembangan jaringan 5G dan ekosistem teknologi canggih lainnya.
Pelaku industri Internet of Things (IoT) menyuarakan kekhawatiran bahwa kebijakan proteksionis tersebut akan menyulitkan akses terhadap perangkat keras dan komponen teknologi yang selama ini banyak bergantung pada rantai pasok global, termasuk dari AS dan Tiongkok.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa Indonesia mencatat surplus perdagangan sebesar US$14,34 miliar sepanjang 2024, dengan ekspor mesin dan perlengkapan elektronik ke AS mencapai US$4,18 miliar—menjadikannya kategori ekspor terbesar ke negara tersebut.
Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia (ASIOTI), Teguh Prasetya, menyatakan bahwa langkah proteksionis AS dapat memperlambat akselerasi teknologi strategis seperti IoT, komputasi awan, kecerdasan buatan, dan jaringan 5G—semuanya merupakan komponen penting dalam transformasi digital nasional.
Teguh menilai respons lambat dari pemerintah dapat memperburuk posisi Indonesia dalam peta digital global, termasuk potensi penurunan peringkat dalam indeks kecepatan internet broadband dunia. Berdasarkan laporan Speedtest Global Index, Indonesia saat ini menempati peringkat 103 dalam kategori kecepatan internet mobile, tertinggal dari sejumlah negara ASEAN seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
“Tanpa mitigasi cepat, kita berisiko makin tertinggal dalam transformasi digital, dan posisi kita dalam indeks broadband dunia bisa turun lebih jauh,” kata Teguh, Sabtu (5/4/2025).
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa ketegangan geopolitik antara AS dan Tiongkok juga menambah tantangan bagi pelaku industri dalam mengakses teknologi canggih dari kedua negara. Padahal, sebagian besar solusi digital di Indonesia masih sangat tergantung pada produk dari dua kekuatan ekonomi tersebut.
Menanggapi situasi ini, ASIOTI tidak menyarankan penutupan impor dari AS. Sebaliknya, mereka mendorong strategi jangka panjang melalui lokalisasi produksi teknologi, diversifikasi mitra global, perlindungan proyek strategis seperti 5G dan satelit, serta penguatan riset dan pengembangan teknologi dalam negeri.
“Situasi ini harus dilihat sebagai momentum membangun ketahanan digital nasional. Kemandirian bukan berarti memutus koneksi global, melainkan memperkuat fondasi sambil tetap terhubung dengan dunia,” jelas Teguh.
Peluang di Tengah Ketegangan
Di sisi lain, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) melihat potensi positif dari kebijakan tarif tersebut. Wakil Ketua Umum ATSI, Merza Fachys, menilai bahwa sektor teknologi, termasuk pengembangan 5G, tidak akan terdampak langsung karena tidak terkait dengan ekspor ke AS.
Merza justru menilai kebijakan itu membuka peluang baru, di mana negara-negara produsen perangkat 5G yang sebelumnya menargetkan pasar AS kini bisa menjadikan Indonesia sebagai pasar alternatif. Ini bisa meningkatkan daya tawar Indonesia dan menurunkan harga perangkat teknologi.
“Mereka akan melihat Indonesia sebagai solusi alternatif untuk mempertahankan volume ekspor,” ujar Merza, Minggu (6/4/2025).
Laporan Global System for Mobile Communications Association (GSMA) memperkirakan penetrasi jaringan 5G di Indonesia baru mencapai 3% pada 2024, namun diprediksi naik menjadi 32% pada 2030 seiring dengan pertumbuhan ekosistem dan dukungan kebijakan.
Perkembangan Operator 5G di Indonesia
Sejumlah operator nasional mulai memperluas cakupan 5G mereka. Telkomsel, misalnya, mengoperasikan lebih dari 2.200 BTS 5G di 56 kota/kabupaten. Pada momen Ramadan dan Idulfitri 2025, operator ini menambah lebih dari 1.400 BTS 5G di kawasan Jabodetabek.
Direktur Network Telkomsel, Indra Mardiatna, menyampaikan bahwa jaringan 5G memainkan peran penting dalam percepatan digitalisasi dan peningkatan kualitas layanan bagi masyarakat.
Hingga Maret 2025, penetrasi perangkat 5G di Jabodetabek telah mencapai 30%, dengan konsumsi data bulanan rata-rata sebesar 30 GB per pengguna. Kecepatan unduh mencapai hingga 500 Mbps, sementara kecepatan unggah menyentuh 110 Mbps—lima kali lebih cepat dibandingkan 4G.
Di Surabaya, Telkomsel menambah 50 BTS 5G baru, menambah total menjadi lebih dari 90 BTS selama Ramadan dan Idulfitri.
Sementara itu, Indosat Ooredoo Hutchison mengoperasikan 107 BTS 5G sepanjang 2024, dengan cakupan terbatas di kota-kota seperti Solo, Surabaya, dan Bali. Menurut Chief Business Officer Muhammad Buldansyah, perusahaan masih menunggu kesiapan ekosistem dan pengguna sebelum melakukan ekspansi lebih lanjut.
Di sisi lain, XLSmart Telecom Sejahtera, hasil merger antara XL Axiata dan Smartfren, juga berkomitmen memperluas jaringan digital. Perusahaan menyambut baik rencana pemerintah menarik 2×7,5 MHz dari pita frekuensi 900 MHz untuk mendukung fokus investasi pada jaringan 4G dan 5G.
“Langkah ini memungkinkan kami lebih fokus pada pertumbuhan bisnis berbasis jaringan digital,” ujar CFO XLSmart, Antony Susilo.